IDEN

Detail Berita

Dukung Diplomasi Budaya Jalur Rempah, BRIN Bedah Buku "Rumah di Tanah Rempah"

Diterbitkan pada 29 Agustus 2023

Jakarta - Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB), Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) membedah buku berjudul "Rumah di Tanah Rempah: Perjalanan Memaknai Rasa dan Aroma Indonesia". Acara tersebut digelar dalam kemasan program Forum Diskusi Seri 64 melalui daring, Senin (28/08). Forum diskusi ini menghadirkan pembicara Nurdiyansah Dalidjo selaku Penulis buku tersebut yang juga seorang Jurnalis, serta Dewi Kumoratih dari Negeri Rempah Foundation. 

Kepala PRMB, Lilis Mulyani mengapresiasi penulis buku tersebut. Ia mengatakan, forum diskusi yang kebanyakan diselenggarakan daring tersebut untuk mendiskusikan gagasan-gagasan para peneliti yang ada di dalam jejaring PRMB. "Salah satu kegiatan diplomasi Indonesia di kancah global, khususnya UNESCO, yaitu Indonesia yang sedang mengajukan jalur rempah sebagai bagian dari warisan budaya dunia," tuturnya.

Menurut Lilis, dukungan dari dunia akademik dan pengumpulan atau akumulasi pengetahuan dan hasil riset yang telah dilakukan sangat penting untuk mendukung upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia. Seperti halnya, buku ini bisa menjadi salah satu dari pengetahuan yang bisa digunakan untuk mendorong dan mendukung diplomasi budaya global Indonesia tentang jalur rempah. 

Penulis yang dengan sapaan akrabnya Diyan, mengungkap latar belakangi penulisan buku berdasarkan pengalaman tentang kekurangpahaman soal konteks dari kolonialisme dulu ketika menjajah Indonesia. Selain itu, bagaimana memaknai identitas orang Indonesia di tengah berbagai keberagaman. Berangkat dari itu, tentu ada hal yang paling penting soal rasa dan aroma makanan, karena tradisi dan budaya rempah-rempah itu banyak sekali. Bahkan sampai sekarang dominan dan melekat di dalam tradisi dan budaya terhadap kuliner seperti kopi, jamu, dan lain-lain. 

"Nggak semua sebetulnya, cerita-cerita tentang perdagangan rempah dan warisan dari perdagangan rempah atau warisan dari kolonialisme dalam konteks Indonesia sebagai negara pasca kolonial yang merdeka. Karena penjajahan itu juga punya banyak sekali cerita yang tergabung dengan konflik," ungkapnya beralasan. Bahkan mungkin saja warisan itu juga sampai sekarang masih ada dan akan perlu terus dibicarakan dan dirawat, dalam konteks agar kita tidak lupa dan peristiwa itu tidak terulang Kembali.

Diyan menambahkan, kemungkinan dominan dari buku ini adalah perjalanannya waktu itu karena terinspirasi dari buku Ananta Toer tentang pantai utara Jawa. Contohnya, jalur Pantura yang dulu namanya Jalan Raya Pos atau Jalan Raya Daendels. Karena diinisiasi oleh Daendels, untuk membangun jalan raya sepanjang Anyer sampai Panarukan yang hanya dibangun dalam waktu 1 tahun untuk seluas itu. Akan tetapi juga kemudian dimaknai sebagai sebuah benteng yang sulit untuk diimajinasikan. 

Meskipun namanya benteng pertahanan militer tetapi bentuknya adalah jalan raya yang tentu saja punya konteks sejarah yang sangat penting di masa lalu. Saat itu sebelum kedatangan orang-orang kota dan pesisir di pantai utara Jawa. Jalur itu merupakan salah satu hal ataupun episentrum untuk perdagangan dan juga hubungan diplomatis antara berbagai kerajaan dan juga masyarakat adat di Jawa.  

"Selama berabad-abad mereka belum kedatangan orang kulit putih. Untuk mengenang satu peristiwa revolusi tentang bagaimana perubahan-perubahan ketika Indonesia belum dijajah, masa orde lama, orde baru dan berakhirnya Orde Baru revolusi 98," terangnya.

Diyan melanjutkan, bahwa katakanlah reformasi sebagai anak muda berusaha untuk merenungkan seperti apa warisan rempah-rempah dari sejarah kolonialisme dan menghubungkannya. Pada konteks, anak muda saat ini punya kegelisahan untuk memaknai konteks sejarah dan juga budaya Indonesia, sebagai negara yang merdeka dari penjajahan yang mungkin ampas dari penjajahannya masih bisa kita rasakan sampai saat ini.

Sementara, Dewi mendeskripsikan buku tersebut sebagai sebuah catatan perjalanan mengenai Indonesia melalui jejak perdagangan rempah-rempah. Penjelajahannya dimulai dengan berkunjung ke berbagai wilayah Indonesia dan gagasan tentang ke-indonesiaan yang dikemas sangat ringan dan cair melalui sudut pandang orang pertama. Sehingga buku ini membawa pembaca ikut ke dalam cerita. Hal yang  menarik adalah narasinya selalu diawali dengan sensasi indrawi yang dikaitkan dengan rasa dan aroma makanan dan minuman meskipun tidak harus selalu rempah. 

Sejarah perdagangan rempah rumah Nusantara sebetulnya bukan semata-mata perdagangan rempahnya. Tetapi bagaimana melalui rempah ini, nusantara yang kelak menjadi Indonesia mengalami berbagai macam pergulatan, menuju kawasan yang makmur maju ekonominya sampai ketika Eropa datang dan kemudian terjadi banyak pelanggaran HAM, penindasan, dan lain sebagainya. Ini  menunjukkan bahwa warisan kolonialisme itu masih ada. Meskipun Indonesia sudah merdeka dan narasumber yang menjadi bagian dari penceritaan itu juga ditangkap suara-suaranya, bagaimana mereka memaknai rempah-rempah ini jadi pergulatan kolonialisme ternyata masih terasa sampai hari ini.

Persoalan identitas ini jadi pertemuan antar budaya dan jejak akulturasi yang di jembatani oleh tradisi kuliner. "Ternyata ceritanya panjang sekali dan persoalan yang menyangkut perbedaan etnis, seperti ras dan agama ternyata masih merupakan isu yang crusial typing. Stigma masih terjadi terutama pada masyarakat adat," papar Dewi. 

Jadi, menurutnya, identitas tersebut seolah-olah PR yang penulis. Ia bercerita bagaimana pergulatan masyarakat setempat mempertahankan ruang hidup. Kemudian ada nilai-nilai yang menggeser masyarakat adat dengan tempat asalnya, Serta, bagaimana tanah-tanah ada yang digunakan untuk kepentingan lain dengan dalih kepentingan nasional. Kemudian isu identitas ini juga akhirnya senantiasa muncul di berbagai tempat di Indonesia. 

Dewi menambahkan, adanya  perbendaharaan makanan dan minuman yang berasal dari kekayaan sumber daya alam dan pengetahuan akan rempah-rempah oleh masyarakat setempat ternyata tidak hanya rempah-rempah. Memang semuanya terkait dengan bagaimana jalur perdagangan di masa lalu, yang komunitas utamanya rempah. Namun rempah itu juga bagian dari sumber daya alam yang juga sangat kaya dimiliki oleh Nusantara. Contohnya bagaimana sumber-sumber dan komoditas lain pengganti rempah yang juga dianggap berharga oleh pemerintah kolonial, seperti kopi juga berkontribusi pada pembentukan budaya yang sampai hari ini memberi warna bagi Indonesia. 

"Buku ini dapat menginspirasi kita yang ingin mengenal kembali wajah Indonesia dengan sejujur-jujurnya tidak hanya indah saja, tetapi keindahan itu juga dibentuk dari tempaan kepahitan perjuangan. Sehingga menghasilkan satu kearifan yang memberikan makna mendalam tentang menjadi Indonesia," pungkasnya. (Noor/ed:jml)