Cibinong - Humas BRIN. Resistensi antimikroba (Antimicrobial Resistance, AMR) telah menjadi perhatian global yang mendesak dan merupakan suatu silent pandemic yang berdampak pada kesehatan manusia, lingkungan, dan hewan. Penanganan dan strategi pengendalian AMR di Indonesia tentunya membutuhkan perhatian banyak pihak dan stakeholder sektor kesehatan.
Untuk itulah, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman (PRBM Eijkman) Organisasi Riset Kesehatan (OR Kesehatan) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Permasalahan, Tantangan dan Riset yang Mendukung Pengendalian Resistensi Antimikroba di Indonesia, pada Kamis (22/6) secara hybrid.
FGD dibuka langsung oleh NLP Indi Dharmayanti selaku Kepala Organisasi Riset dan Kesehatan (ORK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Elisabeth Farah Coutrier selaku Kepala Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman (PRBM Eijkman) ORK BRIN. Beberapa peneliti BRIN yang kompeten dan concern hadir mendiskusikan AMR dan penanganannya di Indonesia.
WGS untuk Surveillans AMR di Indonesia
Peneliti dan Ketua Kelompok Riset Molekuler Patogen PRBM Eijkman BRIN, Dodi Safari dalam paparannya berjudul "Whole-Genome Sequencing (WGS) untuk Surveillans Antimicrobial Resistance (AMR) di Indonesia", menjelaskan bahwa tingginya tingkat AMR di Indonesia disebabkan oleh penggunaan antimikroba yang tidak tepat di fasilitas kesehatan, sektor peternakan dan perizinan. "Saat ini konsumsi antibiotik yang terbanyak yaitu di Indonesia," ucapnya,
Ia juga menjelaskan mengenai WGS yang memiliki potensi dalam meningkatkan kemampuan surveilans AMR baik di tingkat nasional maupun global, memberikan informasi karakterisasi bakteri patogen, mekanisme resistensi, evolusi dan dinamika populasi patogen, serta pemetaan dan monitoring distribusi gen resistensi baik di tingkat lokal, nasional dan global. "WGS ini menjadi salah satu metode kedepan yang bisa digunakan untuk pemetaan atau monitoring dari AMR," terang Dodi.
Dodi juga menjelaskan bagaimana data-data WGS digunakan. Saat ini terdapat data epidemiology, klinis, profil kepekaan antimikroba (AST) dan molekuler/genome. Data ini bisa digabungkan atau digunakan oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian atau Kementerian Perikanan dalam program pencegahan dan penanganan AMR.
"Saat ini kita belum mempunyai data center yang terintegrasi memuat semua data epidemiology, klinis, AST dan molekuler/genome, sehingga saya berharap FGD ini dapat berdiskusi bagaimana kedepannya kita membangun data center tersebut," ucap Dodi.
Resistensi Bakteri MDR
Abdi Wira Septama, Peneliti Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional BRIN, memaparkan "Eksplorasi Anti Multi Drug Resistance (MDR) dari Tanaman Endemik di Indonesia". Diprediksi pada tahun 2050 akan terjadi superbug bakteri, yaitu munculnya bakteri-bakteri baru yang tahan terhadap antibiotik dan tidak ada lagi antibiotik yang mampu mengobati bakteri yang tergolong superbug tersebut.
Ia juga menjelaskan mekanisme resistensi bakteri MDR yang membuat bakteri ini lebih rentan terhadap antibiotik seperti adanya perubahan target obat, penghambatan pengambilan obat, munculnya efflux pumps yang akan menurunkan konsentrasi dari antibiotik yang menyebabkan antibiotik tidak mampu lagi bekerja, dan juga adanya inaktivasi obat oleh enzim.
Strategi harus diperhatikan dalam bidang penemuan dan pengembangan obat dari bahan alam, serta fokus pada penemuan antibakterial baru dan penggunaan kombinasi obat. "Jadi konsen kita disini mencoba menemukan bahan-bahan alternatif yang akan nantinya bisa digunakan dalam penanganan bakteri-bakteri MDR dan mencoba menggunakan secara bersama antara antibiotik dan bahan-bahan alam, dimana bahan alam tersebut mempunyai aktivitas sebagai antibakteri," jelas Abdi.
Lebih lanjut Abdi menjelaskan bahwa fokus kelompok risetnya yaitu mencoba mengkombinasikan antara antibiotik yang sudah tidak digunakan lagi secara medis dengan bahan alam yang mempunyai aktivitas antimikroba, dimana tujuannya adalah mendapatkan efek sinergis, mengurangi severty ataupun adverse effect, mencegah munculnya resistensi, dan memperluas spektrum kerja dari antibakteri.
Riset Obat Antimikroba
Harimurti Nuradji, Kepala Pusat Riset Veteriner, BRIN dalam paparannya yang berjudul "AMR: Problem, Pengendalian dan Hasil Riset, serta Tindak Lanjut dalam Mendukung Program One Health", menyampaikan bahwa obat antimikroba umum digunakan untuk antibiotik, anti jamur, anti virus dan anti parasit.
"Semakin banyak obat ini digunakan semakin kurang efektif dan masalah ini dikenal dengan resistensi antimikroba (AMR). Ini berarti mikroba telah mengembangkan resistensi terhadap obat-obatan yang biasa kita gunakan, artinya obat-obat ini tidak selalu bekerja untuk mengobati infeksi," terangnya.
Lebih lanjut Harimurti mengatakan, masalah AMR ini kompleks sekali apalagi terkait dengan veteriner, ternyata pendekatannya harus One Health. "Perlu dilakukan riset bersama, duduk bersama untuk memformulasi bersama," ucapnya.
Ia juga mengatakan problem AMR yaitu mikroba yang resisten terhadap obat sulit diobati, dan tidak mungkin diobati pada orang yang rentan atau orang dengan sistem kekebalan yang lemah. "Meskipun AMR utamanya berasal dari penggunaan antibiotik dan antimikroba, bukti kuat menunjukkan bahwa penyebaran AMR yang lebih luas dipicu oleh sanitasi lokasi yang tidak memadai, polusi dan faktor non penggunaan lainnya dengan lingkungan alam menjadi saluran penting," jelasnya.
Harimurti juga menyampaikan perlu difokuskan kegiatan riset yang berhubungan dengan surveillance resistance, deteksi resistensi, pengembangan diagnosa klinis, vaksin atau alternatifnya, dan jumlah orang yang bekerja di One Health serta pengembangan antimikroba baru.
Potensi Terapi Bacteriophage
Sementara itu, Sunarno, Kepala Pusat Riset Biomedis BRIN dalam paparannya yang berjudul "Bacteriophage: Senjata Biologi untuk Melawan MDRO" menjelaskan potensi sangat besar yang dimiliki BRIN dan seluruh masyarakat Indonesia. "Kita memiliki biodiversitas yang luar biasa, SDM tangguh, teknologi canggih, skema pendanaan memadai, repositori memadai, dan AMR tinggi," terang Sunarno.
Menurutnya AMR tinggi dapat menjadi tantangan juga potensi dalam mengembangkan suatu metode karena ketersediaan pasien di lapangan. "Saya yakin dengan kerja sama semua pihak, kita bisa memberikan masukan ke BPOM bahwa terapi bacteriophage sangat potensial dan perlu didukung oleh regulasi yang menjamin keamanan klinis," pungkasnya. (wt/ed.sl)