Tangerang Selatan - Humas
BRIN. Dalam upaya mendiseminasikan hasil-hasil
riset dan inovasi, Organisasi Riset Nano Teknologi dan Material (ORNM) Badan
Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengadakan serial webinar ke-12 dengan
menampilkan tema riset pengembangan material.
Pengembangan Paduan Titanium Tipe Beta (β) berbasis Ti-Mo-Nb Untuk
Aplikasi Biomedis, dan Sifat-sifat Fisik dari Busa Campuran Polyethylene (PE) dan Ethylene Vinyl Acetate (EVA), yang
dilaksanakan secara daring pada Selasa (20/9).
Kepala ORNM Ratno Nuryadi menyampaikan bahwa webinar ini rutin
diselenggarakan untuk memberikan wawasan bagi internal dan eksternal BRIN. “Webinar
ini menarik untuk kita ketahui. Salah satu topik kali ini adalah pengembangan paduan
titanium tipe beta (β) berbasis Ti-Mo-Nb untuk aplikasi biomedis. “Isu
kesehatan yang akan diangkat adalah bahwa material biomedis ini kebanyakan
impor, dan ini merupakan permasalahan nasional yang perlu kita tekuni,
bagaimana mencari substitusi material tersebut,” imbuhnya.
Sementara topik berikutnya adalah material polimer untuk Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina
TEWS). Penggunaan material ini perlu memenuhi persyaratan seperti ketahanan
terhadap karat, aplikasi pada tekanan tinggi, tahan impak, hidrodinamik, dan
seterusnya, sehingga nanti perawatan Ina TEWS bisa berjalan dengan baik. “Sebagian
besar material ini masih impor juga, sehingga kegiatan inovasi untuk Ina TEWS
ini sangat diperlukan,” jelas Ratno di akhir sambutannya.
Pemateri Cahya Sutowo dari Pusat Riset Metalurgi - ORNM BRIN menyampaikan
data permintaan implan yang akan terus meningkat. “Kebutuhan material implan di
Indonesia sudah meningkat sejak tahun 2013 dan diprediksi pada tahun 2050
semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh penyakit osteoprorosis yang dialami
oleh penduduk Indonesia pada usia lanjut,” terangnya.
“Berdasarkan data dari International
Osteoporosis Foundation, telah terjadi 38.000 kasus di Indonesia akibat
osteoporosis. Kendalanya saat ini lebih dari 92% material kita masih impor
bahan material implan dengan harga relatif mahal dengan harga $ 5000/kasus atau Rp 3 triliun/ tahun,” imbuh peneliti dari Kelompok
Riset Metalurgi Paduan Non-besi dan Komposit Matriks Logam.
Permintaan implan medis diperuntukan untuk sebagai pengganti bagian
wajah, gigi, kardiovaskuler, pinggul, lutut, serta bagian-bagian tubuh yang
bisa mengalami kerusakan. “Untuk implan kebanyakan digunakan bahan biomaterial
dari logam dengan persyaratan tertentu, seperti non toksik, memiliki sifat yang
baik, ketahanan korosi dan ketahanan aus yang baik, jaringan dapat tumbuh di
material logam tersebut, memiliki berat dan massa jenis yang proposional, relatif
murah, serta mudah diproduksi dalam skala besar,” tutur Cahya.
Titanium digunakan sebagai biomaterial dikarenakan memiliki sifat
ketahanan korosi yang tinggi, ringan, biokompatibiltasnya baik, memiliki
kekuatan spesifik yang tinggi. “Tetapi perlu diperhatikan hal sebagai berikut,
titanium mempunyai fase yang berbeda apabila kita panaskan pada suhu tertentu,
ada beberapa tipe titanium tergantung pada perpaduan yang digunakan. Yang
penelitian kami berfokus pada titanium beta (β),” ucap Cahya.
Adanya penambahan timah (Sn) dan mangan (Mn) berpengaruh terhadap
fase titanium beta dan meningkatkan intensitas fase beta, sehingga berpengaruh
terhadap penurunan modulus elastisitas. Struktur mikro setelah proses
homogenisasi menunjukan perubahan struktur sehingga terjadi perubahan sifat
mekanik. “Secara keseluruhan paduan yang dihasilkan pada penelitian ini
mempunyai sifat yang lebih baik, sehingga bisa digunakan sebagai kandidat
material untuk aplikasi implant medis,” tandasnya.
Dalam
kesempatan yang sama, Opa Fajar Muslim dari Pusat Riset Teknologi Polimer -
ORNM BRIN menyampaikan bahwa sistem Indonesia
Tsunami Early Warning System (Ina TEWS) ada dua macam, yakni untuk
monitoring tsunami di darat dan di laut. Material yang digunakan di Indonesia
untuk sistem tersebut terbuat dari polimer
Ethylene Vinyl Acetate (EVA) dan masih diimpor dalam bentuk lembaran.
“Terkait
permasalahan ini, kami mengembangkan material foam dari material EVA yang ditambahkan Polyethilene (PE) foam. Hal
ini dikarenakan PE lebih direkomendasikan dari pada EVA untuk pemakaian di
laut. Sehingga kita dapat melihat sifat fisik yang sesuai dengan yang
diperlukan,” jelas Opa.
Menurut periset dari Kelompok Riset Komposit Polimer ini, dalam proses
pembuatan busa ada 2 tahap, yakni tahap pertama formulasi dan membuat pelet (pelletizing). “Hal ini menghasilkan
material pencampuran antara PE dan EVA secara manual pada tahap kedua foaming, saat pelet dikompres,” sebutnya.
Opa juga menyimpulkan bahwa hasil risetnya menunjukkan hasil yang
baik. “Telah ditampilkan sifat-sifat fisik busa EVA dengan penambahan PE dan
ZnO (seng oksida), yang komposisinya bervariasi. Hasil dari karakterisasi
kekerasan, kuat tarik, dan kuat tekan, mengkonfirmasi hasil pengukuran
densitas. Secara umum, PE meningkatkan densitas dan sifat mekanis,” ulasnya.
Dalam menguji PE, BRIN memiliki laboratorium untuk pengujiannya di PR
Teknologi Polimer. “Tantangan dalam pengembangan material foam ini adalah bagaimana bisa memahami dengan baik sifat-sifat
gabungan EVA dan PE, dalam upaya menghasilkan sifat-sifat yang sesuai kebutuhan
aplikasi,” tutup Opa. (esw/ ed. adl)