IDEN

Detail Berita

BRIN Jajaki Peluang Kolaborasi Riset dan Pengembangan Padi Hibrida di Indonesia

Diterbitkan pada 4 Agustus 2022

Cibinong - Humas BRIN. Salah satu alternatif teknologi untuk meningkatkan pelandaian hasil padi adalah pemanfaatan heterosis padi hibrida. Fenomena heterosis hanya muncul pada generasi pertama (F1) turunan dari tetua yang secara genetik berbeda.

Beberapa peneliti melaporkan, padi hibrida mampu memberikan hasil 1 hingga 1,5 ton per hektar, atau 20 hingga 30 persen lebih tinggi dibanding varietas inbrida. Padi hibrida yang dikembangkan dengan memanfaatkan fenomena heterosis, secara genetik diyakini dapat digunakan sebagai alternatif teknologi dalam upaya meningkatkan produktivitas nasional.

Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Puji Lestari menyampaikan, BRIN sangat terbuka untuk dapat berkolaborasi dalam menghasilkan teknologi dari varietas hibrida dan produksi benihnya, teknologi budidaya, manajemen hama dan penyakit hingga pengelolaan pasca panen.

“BRIN siap bergandeng tangan dengan Kementerian Pertanian untuk mendukung program-program pengembangan yang diamanatkan di Direktorat Teknis dan pelaku bisnis perbenihan dalam komersialisasi teknologi-teknologi yang dibutuhkan dalam proses pengembangan hibrida ini,” ungkap Puji, secara daring, pada Webinar series ketiga Pusat Riset Tanaman Pangan, ORPP BRIN bertajuk “Peluang Kolaborasi Riset dan Pengembangan Padi Hibrida di Indonesia”, Rabu (03/08).

Lebih lanjut Puji menyampaikan, dalam analisa BPS tahun 2020, rata-rata produktivitas padi nasional mencapai 50,44 kuintal per hektar, dimana produktivitas padi sawah yang menggunakan varietas benih hibrida mencapai hasil lebih tinggi dibandingkan benih inbrida.

“Namun demikian, rata-rata produktivitas nasional kita baru mencapai 5,2 ton per hektar pada 2021 dan dimandatkan oleh Presiden untuk ditingkatkan hingga mencapai 6 ton per hektar guna memenuhi kebutuhan beras domestik dan stok pangan nasional. Selain itu, adopsi varietas padi hibrida dilaporkan masih rendah, hanya mencapai 10,07 persen dari total luasan padi sawah di Indonesia,” terangnya.

Hal ini menurut Puji, menjadi tantangan bagi kita semua, baik periset maupun pelaku bisnis padi, bagaimana kita bersama-sama saling menguatkan dalam mendukung program peningkatan adopsi padi hibrida di Indonesia.

“Saya harapkan dapat dilakukan sharing informasi maupun ide-ide kreatif yang dapat mengungkit peningkatan produktivitas dan adopsi teknologi padi hibrida di berbagai daerah dan dapat menjadi salah satu jalan untuk mempertahankan swasembada beras nasional, sekaligus mendukung Indonesia untuk menjadi negara pengekspor beras dan mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi lumbung pangan dunia,” tambahnya.

Sebagai informasi, webinar dengan format FGD ini bertujuan untuk memperoleh informasi terkait permasalahan dalam pengembangan padi hibrida di pasar saat ini serta mengidentifikasi peluang kolaborasi baik dalam bidang riset maupun pengembangan padi hibrida di Indonesia.

Senada dengan tujuan FGD, Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN, Yudhistira Nugraha, memaparkan materi tentang “Peluang Kolaborasi Riset Perakitan Varietas dengan BRIN”.

Beberapa narasumber yang kompeten turut hadir memperkaya wawasan peserta FGD akan peluang kolaborasi riset padi hibrida kelak. Dari Kementerian Pertanian hadir Andi Muhammad Shaleh dari Direktorat Perbenihan Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Satoto dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Balitbang Pertanian. Sedangkan Ayyub selaku Direktur PT. Primasid Andalan Utama mewakili mitra industri.

Berdasarkan paparan para narasumber FGD, pengembangan padi hibrida di Indonesia masih perlu didorong lebih maju, karena masih disebut ‘malu-malu’ dalam pelaksanaan programnya, sehingga masih relatif tertinggal dibandingkan beberapa negara lain. Kebutuhan benih F1 padi hibrida untuk memenuhi 5 persen dari total luas tanam di Indonesia saja atau setara dengan 600 ribu hektar, memerlukan 9 ribu ton per tahun.

Hal ini akan sangat berat jika hanya difokuskan pada 5 hingga 10 varietas hibrida saja. Oleh karena, perlu dukungan varietas padi hibrida dengan potensi hasil tinggi yang lebih banyak. Terlebih lagi, jika Indonesia akan meningkatkan luas tanam padi hibrida di atas 10 persen total luas lahan padi.

FGD ini berhasil mengidentifikasi peluang dan tantangan dalam peningkatan pengembangan padi hibrida di Indonesia. BRIN diharapkan dapat menjadi jembatan dalam sinergi antar stakeholder baik periset, perusahaan swasta, petani, dan akademisi dalam hal peningkatan kapasitas SDM, pemanfataan plasma nutfah, kerjasama dengan instansi internasional, dan sebagainya. Sebuah Konsorsium Riset Padi Hibrida menjadi salah satu bentuk wadah kolaborasi untuk mewujudkannya. (sl/ed: tnt)